Politik Uang:

Membuyarkan Rasionalitas dan Melukai Demokrasi

Kamis, 6 Maret 2025 4772
Oleh: Bunga Anisah Putri : 14 November 2024

Negara Indonesia merupakan negara demokrasi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Demokrasi sebagai suatu sistem politik berhubungan erat dengan hukum. Tanpa adanya hukum, demokrasi akan menimbulkan anarki, sebaliknya hukum tanpa sistem politik yang demokratis akan menjadi hukum yang elitis dan represif (Moh. Mahfud MD, 2001). Menurut Pasal 3 The International Commission of Jurist Conference tahun 1965, salah satu syarat dasar yang harus dipenuhi oleh negara hukum dan demokrasi yaitu adanya pemilihan umum yang bebas dan adil. Hal ini selaras dengan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945, bahwa Pemilu harus didasarkan pada asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. 

Secara yuridis. Indonesia merupakan negara hukum dan demokrasi. Namun apakah dalam praktiknya Indonesia benar-benar sudah berdemokrasi? Wajah Indonesia dapat terlihat pada momentum pesta Pemilihan Umum (Pemilu) berlangsung. Tak jarang calon pasangan dalam Pemilu akan menghalalkan segala cara dan menggunakan kekuasaannya untuk mencapai kemenangan, walaupun cara tersebut melukai demokrasi. Salah satu cara “kotor” yang paling umum yaitu politik uang (money politics). Politik uang merupakan fenomena umum yang sering terjadi pada proses Pemilu di Indonesia. Praktik money politics ini seperti menjadi sebuah tradisi pada ajang Pemilu di Indonesia.

Survei dari Indikator Politik Indonesia (IPI) pasca-pencoblosan (exit poll) tahun 2024, membuktikan bahwa terdapat mayoritas masyarakat Indonesia pada pemilu 2024 yaitu sebesar 49,6% responden menyatakan bahwa politik uang bukan merupakan hak yang wajar. Namun persentase tersebut ternyata menurun dibanding pemilu tahun sebelumnya, dimana pada tahun 2019 terdapat lebih dari 67% masyarakat menilai bahwa politik uang tidaklah wajar. Lalu survei menemukan bahwa terdapat 46,9% masyarakat di Indonesia pada Pemilu 2024 ini yang menilai bahwa politik uang dapat diterima dan diwajarkan. Persentase ini meningkat sebesar 14% dibanding tahun 2019 yaitu sebesar 32% (Databoks, 2024).

Secara yuridis politik uang melanggar ketentuan Pasal 73 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadai UU yang menyebutkan bahwa “Calon dan/atau tim Kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggara Pemilihan dan/atau Pemilih”. Bahkan ada sebuah istilah yaitu “Democracy for sale” yang menggambarkan bahwa saat ini demokrasi seperti sebuah transaksi yang dapat diperjualbelikan (Aspinall & Barenschot, 2019). Politik uang jauh dari substansi demokrasi yang sebenarnya. Pada negara demokrasi, Pemilu seharusnya berjalan dengan adil dan objektif, yang dimana para calon pemimpin berjuang untuk memberikan aspirasi terbaik untuk memajukan bangsa, bukan hanya dengan mengandalkan uang dan kekausaan. Praktik politik uang kerap membuat kandidat-kandidat yang memiliki potensi dan kualitas kalah dengan kandidat yang memiliki banyak uang. Uang sebagai elemen utama dalam Pemilu juga akan berujung pada praktik korupsi. 

Pada dasarnya, politik uang hingga kini masih laku sebab banyaknya masyarakat Indonesia yang menganggap bahwa politik uang memang bagian dari proses pemilu. Ada tiga faktor yang menyebabkan politik uang terus saja laku, di antaranya: pertama, faktor politik. Praktik politik uang terus dipergunakan oleh para calon karena kurangnya ide inovasi dan pembaharuan yang dapat ditawarkan untuk memajukan daerah, sehingga uang menjadi jalan untuk mencapai kemenangan. Kedua, faktor hukum. Di Indonesia regulasi terkait politik uang sangat lemah dan belum memadai. Politik uang dapat ditemukan dalam Pasal 278 ayat (2), 280 ayat (1) huruf j, Pasal 284, Pasal 286 ayat (1), Pasal 515 dan Pasal 523 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Pada dasarnya pasal-pasal tersebut melarang para calon dan partai politiknya untuk menjanjikan/memberi imbalan uang kepada para pemilih. Ketiga, faktor budaya juga berperan penting dalam perpetuasi praktik politik uang di Indonesia. Pemahaman seperti “tidak boleh menolak rezeki” ataupun tidak terbiasa jika menolak dan tidak membalas pemberian orang lain (ACLC KPK, 2024) merupakan salah satu hal dalam faktor budaya ini. Selain tiga faktor tersebut, politik uang dipicu oleh tingginya tingkat kesenjangan dan kemiskinan dalam masyarakat. Kondisi ini mendorong individu untuk berjuang keras mendapatkan uang demi memenuhi kebutuhan hidup mereka. Ketika Pemilu tiba, praktik politik uang akan membuat masyarakat yang hidup dalam kondisi sulit dan keterpurukan melihat pemilu sebagai sebuah kesempatan untuk mendapatkan keuntungan (uang), alih-alih menggunakan hak suara mereka secara rasional dan berdasarkan pada hati nurani. 

Politik uang ini harus segera diberantas karena melukai demokrasi dan membuyarkan rasionalitas. Beberapa langkah untuk memberantas antara lain: Pertama, edukasi politik warga masyarakat. Mendidik masyarakat merupakan sebuah prioritas utama untuk mengatasi keberadaan politik uang. Penting untuk mengubah pola pikir pemilih agar dapat memilih calon pemimpin yang rasional dan sesuai hati nurani, bukan berdasarkan imbalan yang diberi. Proses ini tentu tidak akan mudah, terutama di kalangan masyarakat kurang mampu. Kedua, penguatan regulasi terkait politik uang. Di Indonesia, aturan mengenai politik uang hanya dapat ditemukan dalam beberapa pasal pada UU Pemilu. Namun pada praktiknya, penegakan UU tersebut kurang tegas dan tidak konsisten. Pengawasan serta pemberian sanksi terhadap para pelanggar juga sangat lemah, sehingga praktik politik uang tetap menjadi kebiasaan  yang umum terjadi saat pemilu. Ketiga, pengawasan pergerakan terhadap aktivitas para kandidat sangat penting. Pengawasan ini memerlukan partisipasi bersama dari semua pihak, baik instansi yang berwenang maupun masyarakat yang membuat pengaduan/laporan. Dengan kolaborasi ini, kita dapat memastikan bahwa praktik politik uang dapat diminimalisisasi dan transparansi dalam proses pemilu terjaga.

Upaya untuk memberantas politik uang harus dilakukan dengan serius. Kegagalan dalam hal ini akan menimbulkan konsekuensi yang lebih serius lagi, yaitu: Pertama, meningkatnya jumlah pemimpin yang tidak berkualitas dan tidak mampu memenuhi kebutuhan masyarakat sehingga akan berdampak pada kesenjangan dan kemiskinan yang berlarut serta tidak tercapainya kesejahteraan sosial. Kedua, politik uang berpotensi pada tindak pidana korupsi yang jelas melanggar Asas Umum Pemerintahan Negara Yang Baik (AAUPB), yang menjunjung tinggi norma kesusilaan, kepatutan, dan norma hukum, untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (Pasal 1 angka (6) UU Nomor 28 Tahun 1999 Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Ketiga, buruknya pola pikir masyarakat dapat mengarah pada normalisasi praktik politik uang, yang akibatnya juga menciptakan penormalisasian terhadap praktik korupsi dan praktik-praktik sejenis. Keempat, ketidakpuasan masyarakat akan kinerja pemimpin meningkat. Pemimpin yang mengandalkan politik uang pada masa pemilu cenderung fokus pada kepentingan pribadinya semata dan tidak berfokus pada aspirasi serta kebutuhan rakyatnya. Kelima, praktik ini menciptakan masyarakat yang tidak mampu berpikir kritis dan rasional dalam menggunakan hak pilih mereka. Dan yang paling krusial, praktik politik uang melukai demokrasi. 

Berita Lainnya